Friday, 16 January 2009

Ternyata Wanita pun Dapat Menderita Disfungsi Seksual!

By Dr Nuke Febriana
Konsultan Medis On Clinic Woman


Lastri mengeluh, akhir-akhir ini hubungannya dan Andi semakin dingin. Ini berawal dari seringnya Lastri menolak diajak berhubungan intim. Bukan apa-apa, Lastri memang sedang kehilangan minat. Deadline yang banyak di kantor membuatnya harus berlama-lama mengerjakan tugas kantor sehingga pulang ke rumah ia sudah sangat keletihan. Di luar itu, sudah beberapa bulan terakhir, Lastri memang merasakan gairah seks yang menurun. Kalau ia coba runut ke belakang, dia tidak ingat persis peristiwa yang menjadi pemicunya. Yang jelas, Lastri hanya malas. Andi bukan penyebabnya. Lastri bahkan tidak pernah lagi berfantasi seks atau memiliki pikiran-pikiran yang mengarah ke sana.

Lain Lastri, lain pula Ane. Dahulu, suaminya pernah ketahuan selingkuh. Rumah tangga mereka hampir hancur karenanya. Tapi mengingat kepentingan anak-anak, mereka berdua sepakat untuk meneruskan dan memperbaiki pernikahan mereka. Kini, Ane dilanda ketakutan luar biasa. Memasuki usia menopause dia merasakan dirinya menjadi frigid. Saat di tempat tidur, dia merasa seperti patung. Terkadang ia juga merasakan nyeri saat hubungan intim. Ane tidak terus terang pada suami. Tapi ia cemas bukan kepalang, hal tersebut disebabkan oleh faktor usia. Dia takut, gangguan yang ia alami akan membuat suaminya selingkuh lagi mencari wanita lebih muda.

Mungkin Juwita sedikit lebih beruntung. Ia dan Leo, suaminya, masih menikmati indahnya awal-awal pernikahan. Sudah 13 bulan usia pernikahan mereka. Sengaja menunda punya momongan, Juwita dan Leo ingin memuaskan diri berdua. Tetapi, ternyata di balik kebahagiaan itu, Juwita merasa menyimpan bom waktu. Di tempat tidur, Leo selalu gagal memuaskan Juwita. Sebenarnya bukan salah Leo. Juwita memang sulit sekali klimaks. Tidak pernah bahkan. Mencoba mencari informasi dari majalah, buku, dan internet; sampai sekarang Juwita masih belum juga bisa mendapatkan kenikmatan puncak dalam seks sebagaimana yang diidam-idamkan setiap orang.

Apa yang dialami 3 perempuan di atas, mungkin tidak asing terdengar. Menurut data terkini sebanyak 76% perempuan mengalami salah satu atau lebih disfungsi seksual dalam hidupnya. Penelitian terbaru yang dipublikasikan di jurnal JAMA, Laumann dan kawan-kawan melaporkan bahwa disfungsi seksual pada perempuan bahkan lebih banyak daripada laki-laki; yaitu 43% berbanding 31%. Hawton bahkan menambahkan bahwa prevalensi disfungsi seksual perempuan mencapai angka 35-60% dengan tingkat kejadian tersering yaitu pada gangguan desire (hasrat seksual menurun) dan arousal (gangguan untuk mencapai tahap terangsang seksual). Menjelaskan lebih lanjut, disfungsi seksual perempuan ada empat. Di luar yang tadi disebutkan yaitu gangguan hasrat seksual (Desire Disorder), gangguan mencapai stage terangsang (Arousal Disorder), juga terdapat 2 yang lain, yaitu: Gangguan Orgasme (Orgasmic Disorder) dan Gangguan nyeri saat berhubungan (Pain Disorder). Keluhan Desire, Arousal, dan Orgasme; adalah keluhan yang paling sering muncul seperti yang terjadi pada perempuan seperti Lastri, Ane dan Juwita. Mari kita bahas satu-satu keluhan-keluhan tersebut!

Gairah Seks Menurun

Kata Desire bisa kita artikan sebagai gairah, bisa pula dengan hasrat atau yang banyak orang juga sudah familiar, yaitu dengan kata libido. Adalah sudah menjadi kemahfuman bahwa perempuan secara budaya, terbatas dalam mengakui dan mengekspresikan hasrat seksualnya dibandingkan dengan kaum laki-laki. Dalam norma sosial yang berlaku di masyarakat, perempuan atau sosok istri haruslah sosok yang “suci” dan polos secara seksual. Perempuan yang terlihat lebih berani dalam mengekspresikan hasratnya dianggap tidak pantas. Itu pula yang kemudian menjadi sebab dari banyaknya penyangkalan perempuan terhadap hasratnya sendiri yang terjadi di bawah sadar. Bila perempuan merasakan “desiran” hasrat, timbul rasa bersalah, atau bahkan perempuan itu kemudian dalam mekanisme jiwanya justru menyangkal dan mengalihkan arti dari “rasa” itu dengan hal yang lain. Misal, menganggap bahwa “rasa” itu adalah nafsu sesaat, tanda menstruasi, atau tak sedikit kemudian dengan ketebalan dinding mekanisme jiwanya justru mengatakan “rasa” itu tidak ada.

Sepertinya sudah lumrah, ketika perempuan ditanyakan tentang masalah seks, mereka akan menjawab bahwa hal tersebut tidak penting. Perempuan lebih condong kepada kedekatan atau intimasi emosional ketimbang menginginkan hubungan seks yang cenderung selalu dikaitkan hanya dengan proses koitus (bertemunya alat kelamin). Hasrat seksual adalah suatu yang sekunder dan sesuatu yang dikubur oleh kaum perempuan. Kata “seks” sendiri sering kali ditakuti dan dijauhi. Padahal, dari sejak jaman purbakala dan berdasarkan peninggalan budaya-budaya kuno, jelas terlihat bahwa peradaban manusia selalunya meletakkan seks pada posisi sakral. Tidak dikesankan bahwa seks adalah perbuatan kotor dan tak berarti.

Hal ini yang penting untuk secara perlahan disadari kaum perempuan. Seks bukan hal taboo. Dan seks menyangkut semua aspek kedekatan baik fisik maupun emosional. Aktivitas seks bukan semata laku dari bertemunya alat genital laki-laki dan perempuan, tetapi juga merupakan irama harmonis yang berawal dari adanya hasrat atau gairah sampai berakhir dengan timbulnya kenyamanan fisik maupun psikologis.

Ketika, pada perempuan tertentu, dengan kondisi penyebab yang majemuk, mengalami kemunduran dalam gairah atau hasrat seksual, atau penurunan libido, maka reaksi yang terjadi menjadi beragam. Keadaan tertekan atau tidaknya perempuan karena gangguannya tersebut menjadi suatu kondisi relatif dan sulit dijadikan indikator absolut apakah perempuan tersebut perlu atau tidak untuk diobati, mengingat, banyak perempuan yang masih dalam fase “denial” terhadap hasratnya sendiri. Biasanya, mengambil contoh Lastri di atas, keluhan suami lah yang mengevokasi perempuan untuk mencari solusi penyembuhan. Bila tidak ada keluhan eksternal, maka tak sedikit perempuan yang merasa baik-baik saja tanpa rasa terganggu. Adalah perlu untuk dipahami, khususnya bagi kaum perempuan yang tertutup dalam masalah seks, tubuh dapat dianalogikan seperti sebuah generator listrik yang secara terus menerus menghasilkan daya jutaan watt. Ketika daya ini tidak disalurkan, dengan keranda normatif yang benar tentunya, maka generator ini dapat “meledak” di dalam, yang tanpa disadari menimbulkan efek somatis yang lebih lanjut berdampak pada timbulnya penyakit-penyakit. Kaum laki-laki dalam hal ini lebih beruntung. Karena secara natural mereka memiliki mekanisme sendiri yang terinduksi dari bawah sadar untuk menyalurkan secara efektif daya atau energi besar ini, keluar. Yaitu melalui “mimpi basah”. Pada perempuan tertentu, hal ini pun dapat terjadi, bilamana kekuatan bawah sadarnya cukup besar mendorong hasrat tersebut untuk muncul ke permukaan. Mimpi orgasme terkadang juga ditemui pada perempuan.

Memang betul bahwa dalam perjalanan rumah tangga, baik suami maupun istri, keduanya akan mengalami fluktuasi dalam hubungan seks mereka. Gairah seksual dapat turun naik terkait dengan kondisi-kondisi seperti keletihan fisik, status hormonal pada perempuan, depresi, atau dapat pula karena konsumsi obat-obatan tertentu, seperti obat penenang, anti hipertensi, dll. Karena itu pada kondisi disfungsi seksual, khususnya menyangkut gairah seks yang turun, faktor penyebab tidak mungkin tunggal. Relasi dengan pasangan, latar sosial budaya, penyakit metabolik, dll semuanya berkontribusi terhadap timbulnya disfungsi ini. Hal ini menyebabkan pengobatan pada perempuan dengan gairah yang turun tidak mudah. Peneliti seperti Zilbergelt dan Ronan bahkan secara skeptis mengatakan bahwa gangguan hasrat seksual adalah suatu masalah kompleks yang sering gagal dalam standar terapi konvensional dengan para terapis psikologi atau konselor pernikahan.

Persepsi Diri dan Hasrat Seks

Perempuan jaman sekarang banyak sekali dibanjiri dengan informasi dari media yang menimbulkan miskonsepsi dan multipel interpretasi. Pengaruh informasi media begitu besar merubah pola kehidupan masyarakat dan individu di masa ini. Setiap hari perempuan dihadapkan pada ‘ciptaan virtual’ yang mengharuskan perempuan untuk mendefinisikan ulang apa yang disebut ‘normal’ dan ‘abnormal’ dalam kamusnya. Sebagai permisalan, cara perempuan mendefinisikan tubuh yang seksi (normal) atau wajah yang cantik. Pra tahun 50-an, image perempuan seksi berhubungan dengan pinggul yang lebar, tubuh yang montok, rambut yang panjang, dll. Hal ini kemudian bergeser menjadi tubuh yang ramping dengan pinggang yang kecil dengan buah dada besar keras dan mantap (tidak menggelendot). Hal ini tak terlepas dari peran media menciptakan “karakter imaginatif” yang secara spektakuler ditandai dengan kemunculan boneka Barbie di tahun 1959. Sosok Barbie berpengaruh besar dalam menciptakan gambaran ideal fantastik mengenai tubuh perempuan. Anak-anak, remaja, hingga perempuan dewasa, berlomba mempermak diri mengikuti pola artifisial yang dibawa dan disimbolkan oleh boneka Barbie. Perempuan menjadi tidak percaya diri pada bentuk tubuhnya sendiri. Hidung yang kurang mancung, perut bawah yang terlalu menjendul, payudara yang terlalu tipis, paha yang tidak kurus, kaki tidak jenjang, pinggul yang terlalu melebar, dll permasalahan yang membuat perempuan tertekan sendiri. Sedikit memang yang memiliki cukup uang atau berkeinginan melakukan operasi plastik. Tapi bagi yang tidak melakukannya pun, bukan berarti tidak menginginkan “keajaiban” yang dapat merubah fisiknya menjadi “ideal”.

Image diri inilah yang kemudian juga ikut memberi kontribusi terhadap munculnya gangguan dalam kehidupan seksual perempuan. Karena rasa malu, perempuan tidak berani mengeksplorasi dan membebaskan dirinya ketika berhadapan dengan pasangan di tempat tidur. Tidak sedikit yang malu untuk secara nyata membiarkan tubuh telanjangnya dipasat oleh pasangan. Terkadang ada perempuan yang memilih untuk mematikan lampu supaya tubuhnya menjadi tidak terlihat ketika hubungan intim. Karena itu, masih banyak perempuan yang bahkan tidak pernah mengenali, lebih jauh melihat, organ kelaminnya sendiri. Hambatan psikologis semacam, berdampak tidak kecil terhadap kemampuan perempuan dalam menikmati aktivitas seksnya. Perempuan sepanjang sejarah terbiasa menilai diri hanya dari bagaimana pria menilai dirinya. Bagaimana ia tampak di hadapan orang lain, khususnya kaum pria, memiliki nilai penting baginya. Kesadaran “diri” nya diletakkan pada persepsi pria atasnya.

Tentu saja perempuan harus sadar, bahwa letak “diri”nya ada pada bagaimana ia menilai dirinya, bukan pada bagaimana ia pikir orang akan menilainya. Apresiasi dari lawan jenis terhadap tampak luarnya bukanlah sesuatu yang harus ia cari dan puja, tetapi cukup hanya dilihat sebagai sebuah hadiah tambahan terhadap rasa percaya diri dan egonya. Perempuan harus berani mendobrak serangan image imaginatif yang dilancarkan produsen demi melanggengkan aktivitas konsumtif perempuan, tanpa menolak secara brutal usaha-usaha mempercantik diri yang merupakan bagian dari karakter dasar perempuan. Sebagai contoh, perempuan yang menggunakan kosmetika untuk mempercantik diri, dalam masyarakat masih dinilai berada dalam kerangka normatif. Tetapi bilamana perempuan tersebut mulai berusaha merubah cipta dasarNya, maka dikatakan melanggar norma yang ada (operasi plastik misalnya).

Terlepas dari bagaimana masyarakat atau budaya setempat menentukan nilai kepatutan, yang penting untuk dimengerti perempuan adalah bahwa ia cantik, indah, mempesona, penuh gairah; tanpa memandang apakah warna kulitnya terang atau gelap, hidungnya pesek atau mancung, alisnya tebal atau tipis, perut bawahnya bergelembir atau singset, kakinya jenjang atau berotot, payudaranya tipis atau berisi, dll. Coba lihat contoh di bawah ini, bagaimana cara pelukis melestarikan kekagumannya pada keindahan tubuh perempuan di atas kanvas:





Gambar : Lukisan "The Three Graces" oleh Peter Paul Rubens, 1639 (Museo del Prado, Madrid, Spanyol)



“The Three Graces” oleh Peter Paul Rubens (1577-1640), pelukis jaman Baroque, terinspirasi oleh lukisan pada relief di pompei, Itali, 60 SM. Lukisan tentang 3 Dewi dari mitologi Yunani Aglaia, Euphrosyne, dan Thalia. Sebuah representasi dari Joy (kegembiraan), Charm (daya tarik) dan Beauty (pesona kecantikan). Di lukisan Rubens ketiga anak dari Zeus dan Eurynome itu tidak digambarkan dengan tubuh yang tipis, ramping, kaki jenjang; sebagaimana gambaran “cantik” ala masyarakat modern saat ini. Dengan berani Rubens memperlihatkan tubuh natural perempuan apa adanya, sebagai bukti, bahwa keberadaan “ala kadar”nya seperti itulah yang merupakan gambaran keindahan paripurna. Betapa tubuh perempuan tidak harus terlihat rata tanpa cela, namun lumrah adanya dihiasi timbunan lemak di sana sini.

Coba perhatikan gambar berikut:


Perhatikan bagaimana wajah sebenarnya dari model perempuan di atas, dan bagaimana kecanggihan teknologi fotografi telah memanipulasi sedemikian rupa sehingga hasil akhir memperlihatkan seolah di wajahnya tidak ada keriput, halus bak pualam.

Realitas kecantikan yang ada sekarang sudah merupakan “bentukan” media yang kerap menimbulkan ketidakpercayaan diri pada perempuan yang terpengaruh. Perempuan harus betul-betul sadar bahwa keberadaan dirinya adalah kondisi natural yang sama sekali tidak mengurangi arti diri dan arti kecantikan alami sesungguhnya. Sebuah cerita menarik ketika seorang pria berusia 84 tahun mengatakan kepada kami bahwa baginya buah dada istrinya yang sudah berusia 80 tahun tetap merupakan payudara terindah yang pernah dilihatnya seumur hidupnya.

Perempuan Frigid

Dalam konsep disfungsi seksual perempuan, terdapat satu kelainan yang disebut arousal disorder, yaitu suatu keadaan dimana seorang perempuan gagal memberikan respon terhadap stimulus seksual yang tertuju atasnya. Respon ini baik berupa “perasaan menyenangkan” maupun berupa respon objektif yang ditunjukkan tubuhnya sebagai pertanda dirinya “terangsang”. Tanda utama bahwa seorang perempuan “terangsang” secara seksual adalah sekresi cairan kelenjar di vagina yang berfungsi sebagai lubrikan untuk memudahkan penetrasi alat vital pria ke dalamnya. Pada perempuan yang mengalami penurunan hormon testosteron dan estrogen, khususnya pada usia menopause, keluhan vagina kering sering muncul. Biasanya perempuan dengan vagina yang kering datang kepada praktisi kesehatan untuk berkonsultasi mengenai rasa nyeri yang ia alami ketika berhubungan intim. Tak sedikit yang kemudian menggunakan lubrikan atau pelumas untuk “meloloskan” penis di kali berikutnya.

Amat disayangkan, pada perempuan yang merasa kemampuan seksualnya menurun, yang terjadi adalah, mereka menjadi putus asa dan menerima begitu saja kondisinya. Sebagian perempuan ini merasa bahwa selama mereka masih dapat melayani suami “ala kadar”nya tentulah kehidupan mereka tak akan dirundung masalah besar. Tentu saja hal ini banyak salah kaprahnya. Ketika memasuki usia tertentu, khususnya fase menopause, perempuan akan diserbu dengan seribu satu masalah kesehatan. Tingkat stressor yang tinggi diikuti oleh kemampuan tubuh mengatasi stress yang berkurang, menyebabkan keluhan kesehatan perempuan semakin menjadi-jadi. Perempuan tidak sadar, bahwa sebenarnya mereka dikaruniai sebuah fasilitias rekreasi jiwa-raga yang murah meriah. Yang tidak hanya berguna bagi kesejahteraan dirinya, tetapi juga bermanfaat bagi keharmonisan hubungannya dengan pasangan. Kehidupan seksual, yang pada banyak perempuan Indonesia memasuki usia 50-an ditinggalkan, sebenarnya adalah rahasia untuk mencapai vitalitas tubuh optimal, bebas dari stress, awet muda, meningkatkan daya tahan tubuh alami, menghindarkan dari penyakit-penyakit metabolik dan pembuluh darah, termasuk juga membantunya mengatasi nyeri menahun akibat menurunnya kekuatan tulang dan otot.

Seorang penganut Tao-isme jaman klasik, Su Nu Ching, yang menulis buku dasar Seksologi Taoist, menjelaskan bahwa dalam proses reproduksi (seks) mengandung sebuah makna besar yang terkubur yang disebut Tao of Sex Wisdom. Meskipun banyak orang tidak mengetahui, sesungguhnya seks adalah sebuah aktifitas vital dalam kehidupan manusia sebagai bentuk elevasi spiritual. Di dalamnya terdapat rahasia kemanusiaan dalam menikmati, meningkatkan, mencintai kehidupan. Ia dapat memperkuat, memperpanjang sebuah kehidupan percintaan yang lebih lanjut mempererat ikatan antara dua manusia berpasangan, sebagai pondasi fundamental sebuah rumah tangga.

Ketika perempuan menjadi frigid, daya serapnya terhadap kenikmatan seksual terhambat. Ia diartikan dingin di tempat tidur. Terkadang, perempuan ini merasa stress, karena ia secara gairah masih normal. Keinginannya untuk melakukan aktifitas seksual besar. Namun, tatkala aktivitas itu dimulai, ia merasakan sensasi biasa, tidak seperti yang umumnya dirasakan banyak perempuan. Selama ini perempuan memendam ketidaknyamanannya karena takut ia akan dinilai rendah oleh orang lain. Rasa malu dan minder akan menggelayutinya. Selain itu, banyak pula yang tidak tahu ke mana mereka harus mencari pengobatan. Memang benar, mengobati perempuan dengan kendala seksual tidak seperti membalikkan telapak tangan. Belum pernah ada satu metode pun yang dianggap mampu memberikan miracle atau keajaiban yang bisa menyembuhkan seseorang dalam sekejap mata. Tetapi, meski pun demikian, tidak ada alasan untuk perempuan menunda-nunda mencari pengobatan hanya semata-mata alasan ketidaktahuan atau malu. Sudah saatnya perempuan menggerakkan dirinya menjadi seorang yang tidak takut tampil “seksual” tanpa harus diartikan berbau pornoaksi atau pornografik demi kelestarian jati diri dan kesejahteraan jiwa raganya, termasuk dalam artian ini mencari kesembuhan bagi kegagalannya menjadi hangat dalam aktivitas seksual atau frigid.

Makanan yang dapat mem-boost gairah seksual perempuan

Coklat. Peradaban kuno meksiko telah lama menggunakan coklat sebagai alat untuk meningkatkan kemampuan seksual perempuan. Makanan manis ini diduga meningkatkan produksi serotonin, zat yang berperan dalam menimbulkan sensasi nyaman dan relaks. Coklat gelap adalah pilihan yang lebih baik karena lebih sedikit kandungan gula dan lemaknya.
Jahe. Fakta yang sudah diketahui sejak dahulu bila jahe dapat meredakan nyeri dan meringankan gatal pada gangguan tenggorokan. Diduga pada kaitannya dengan seksual, jahe memperlancar aliran darah di area genital perempuan sehingga membantu meningkatkan daya “terangsang” dan orgasmenya.
Ginseng. Bahkan di masa lampau, pria di Asia sudah menggunakan ginseng untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan alat vitalnya dalam aktifitas seksual. Pada perempuan, ginseng juga dikatakan dapat membantu menyembuhkan perempuan dengan gangguan orgasme karena ia berhubungan dengan pelepasan dopamin pada otak. Ginseng juga dapat membantu meningkat fertilitas pada perempuan-perempuan yang sulit hamil.
Vanilla. Seperti pada coklat, vanila juga memiliki efek sama dalam menambah gairah seks dan tingkat kenyamanan seorang perempuan. Meski begitu perlu betul disadari, tidak semua perempuan bisa merasakan efek dasyat dari coklat dan vanila terhadap kehidupan seksnya.

Orgasme pada Perempuan

Banyak mitos yang menyertai pembahasan orgasme pada perempuan. Sampai saat ini perempuan sering dikelabui oleh gambaran perempuan orgasmik yang sering muncul di film-film yang mengekploitir seks secara kasar. Kaum adam pun banyak yang tertipu merasa kondisi tersebut seharusnya ia lihat pada rata-rata perempuan, sehingga ekspektasi terhadap pasangan pun menjadi berlebihan. Penting untuk diketahui, pada dasarnya orgasme pada perempuan tidak serupa dengan orgasme pada laki-laki yang selalu ditandai dengan ejakulasi setelah hubungan seks. Pada perempuan, kompleksitas seksualitas yang ada, membuat sulit untuk pengamat menilai secara kuantitatif kemampuan orgasmiknya. Jangan lupa pula, dalam kenyataan sehari-hari, perempuan pandai menipu pasangan dengan berpura-pura orgasme !

Baik laki-laki maupun perempuan harus menyadari bahwa orgasme pada perempuan tidaklah semudah seperti yang selama ini dibayangkan. Adalah wajar untuk perempuan tidak merasakan orgasme untuk setiap kali hubungan intim. Perempuan membutuhkan kondisi pendukung seperti suasana hati, relasi dengan pasangan, foreplay yang cukup, fisik yang fit, posisi yang tepat. Sudah bukan rahasia lagi, bila pada posisi perempuan di atas, ia lebih mampu merasakan episode orgasme dibandingkan posisi lainnya yang ada. Banyak pula kesalahpahaman yang terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan sendiri, bahwa orgasme perempuan dihasilkan dari vagina, dengan anggapan area tersebut lah yang paling erogenik. Alfred Kinsey, peneliti perilaku seks manusia yang terkenal dari Amerika, pada tahun 1953 meneliti 6000 perempuan dan melaporkan bahwa mayoritas perempuan tidak bisa merasakan orgasme pada intercourse tanpa stimulasi langsung pada area klitoris. Itu kenapa, seperti yang tadi disebutkan, posisi women on top, lebih tinggi tingkat keberhasilannya dalam menimbulkan orgasme, dikarenakan pada posisi tersebut klitoris bisa mendapatkan gesekan yang maksimal. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Kinsey Institute for Research in Sex, Gender and Reproduction; melaporkan, bahwa hanya kurang dari 50% perempuan yang bisa mencapai orgasme saat intercourse (= coitus).

Oleh sebab itu, pandangan bahwa terdapat orgasme vaginal dan klitoris sebenarnya hanyalah mitos, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Anne Koedt (1970 ) dalam artikel yang terkenal berjudul The Myth of The Vaginal Orgasm. Koedt juga menyatakan dengan gamblang bahwa kesalahan ini lah yang juga terkadang menyebabkan ekspektasi salah seseorang terhadap klimaksnya perempuan. Banyak yang mengira bahwa vagina adalah organ sensitif perempuan untuk membuatnya orgasme. Padahal sesungguhnya, vagina bukanlah area super sensitif seperti yang diduga dan bukan pula dikonstruksi untuk menyebabkan orgasme. Klitoris di lain pihak, secara anatomi memiliki kemiripan bentuk dan fungsi dengan penis pada laki-laki, karena itu pula, klitoris lah yang sesungguhnya menjadi “ratu” area erogen yang dapat membawa seorang perempuan pada fase klimaks. Lombard Kelly dalam bukunya Sexual in Married Men dan Women mengatakan kepala klitoris terdiri dari jaringan erektil, dan memiliki lapisan permukaan dengan sel pelapis yang sangat sensitif. Di dalamnya banyak terdapat akhiran saraf disebut korpus genital yang sangat adaptif terhadap stimulus sensorik yang dalam kondisi mental yang tepat akan berakhir dengan orgasme seksual. Tidak ada bagian lagi di traktus generatif perempuan yang mengandung korpus tersebut.

Disfungsi Orgasme Perempuan

Pada konsensus panel para ahli dari multidisiplin di bidang female sexual dysfunction, Oktober, 1998, gangguan orgasme diartikan sebagai kesulitan yang persisten atau rekuren, atau keterlambatan dalam, atau absen dari ; pencapaian orgasme yang mengikuti stimulasi seksual dan fase terangsang yang adekuat ; sehingga menjadikan perempuan tersebut tertekan secara mental. Disfungsi orgasme ini dapat dibagi menjadi primer dan sekunder. Gangguan primer artinya, perempuan belum pernah dalam hidupnya merasakan orgasme (anorgasmia), sedangkan yang sekunder biasanya disebabkan oleh faktor-faktor yang muncul kemudian hari seperti tersumbatnya pembuluh darah, akibat operasi, penurunan hormon, trauma tulang belakang, dll. Anorgasmia atau kondisi dimana perempuan sama sekali tidak bisa merasakan orgasme biasanya terkait dengan masalah-masalah psikologis seperti trauma emosional atau abuse seksual; meski begitu faktor medis/fisik secara pasti juga berkontribusi pada masalah tsb.

Sebagaimana masalah disfungsi seksual yang lain, ketidakmampuan orgasme perempuan juga berefek pada kesejahteraan lahir batin perempuan tersebut. Sebagaimana yang mungkin diketahui, pada saat orgasme perempuan akan berada pada puncak sekresi zat katekolamin (endorfin) sepanjang aktifitas seksualnya, sehingga setelahnya ia akan merasakan kenyamanan dan kedamaian luar biasa. Leif (1980) mengatakan bahwa perempuan yang merasakan orgasme jauh lebih bahagia dan puas dalam hidupnya ketimbang yang tidak pernah. Newcomb dan kawan-kawan dalam laporannya bahkan menambahkan bahwa respon orgasme perempuan sangat dekat hubungannya dengan keintiman yang terjalin dengan pasangan.

Kesehatan Seksual Kunci Kebahagiaan

Setelah perempuan menyadari arti penting seks bagi kehidupannya, dan bagaimana pengaruh dari disfungsi yang ia alami terhadap kehidupannya, khususnya kehidupan rumah tangganya, maka penting untuk setiap perempuan segera mencari pertolongan ahli bilamana ia mendapati dirinya dalam kriteria kelainan tersebut. Kegagalan perempuan mengenali dan mengakui adanya gangguan seksual pada dirinya, menyebabkan tidak sedikit efek yang timbul terutama terhadap kehidupan berpasangan. Perceraian dan perselingkuhan yang akhir-akhir ini kejadiannya meningkat, tak sedikit yang bermula dari masalah “dinginnya tempat tidur”. Karena itu semua orang perlu membuka mata, menyadari, bahwa seks adalah bagian dari naluri dasar terpenting manusia untuk bertahan hidup. Bilamana hal ini terganggu, maka tidak heran salah satu akan mencari pelampiasan atau sumber lain untuk memenuhi hasrat dasarnya itu.

Frank dan kawan-kawan di tahun 1979 menunjukkan dengan data bahwa level kepuasan seksual berimplikasi pada hubungan antara 2 orang. Lawrence dan kawan-kawan (1995) menambah kuat pernyataan Frank dengan mengatakan bahwa benar adanya kepuasan seksual terkait langsung dengan kualitas hubungan antar pasangan. Morokoff dan Gilliland (1993) menjelaskan bahwa faktor seperti stress, level kepuasan seksual, frekuensi intercourse, berhubungan secara nyata dengan kebahagiaan rumah tangga.

Mengenai seksualitas sebagai naluri dasar yang menjadi hak setiap orang dalam mensejahterakan dirinya sebagai pribadi sekaligus sebagai pasangan, maka pada World’s Congress 14th of Sexology di Hongkong 26 Agustus, tahun 1999 yang lalu, telah dikeluarkan pernyataan mengenai hak asasi seksual setiap orang yang disebut dengan Declaration Sexual Right (lihat box untuk salinan lengkapnya). Dengan ini semua orang diharapkan sadar sepenuhnya akan kepentingan seks dalam kehidupan sekaligus juga mengerti batas antara hak dan kewajibannya dalam memfungsikan seksnya di kondisi masyarakat majemuk.

Khususnya kepada perempuan dengan tekanan budaya yang banyak terhadap naluri seksualnya, deklarasi itu dapat mengingatkan kembali perempuan akan hak-hak dirinya selaku manusia seutuhnya. Perempuan dengan masalah disfungsi seksual diharapkan mengobati dirinya bukan untuk kepentingan suami, atau desakan kebutuhan pasangan, tetapi semata-mata kesadarannya akan kepentingan dan kebutuhan dirinya sendiri dalam mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan paripurna.

Copy Deklarasi Hak-hak Seksual

World Association of Sexual Health: AWS (formerly World Association of Sexology)

DECLARATION ON SEXUAL RIGHTS

Sexuality is an integral part of the personality of every human being. Its full development

depends upon the satisfaction of basic human needs such as the desire for contact,

intimacy, emotional expression, pleasure, tenderness and love.

Sexuality is constructed through the interaction between the individual and social

structures. Full development of sexuality is essential for individual, interpersonal, and

societal well being.

Sexual rights are universal human rights based on the inherent freedom, dignity, and

equality of all human beings. Since health is a fundamental human right, so must sexual

health be a basic human right.

In order to assure that human beings and societies develop healthy sexuality, the following

sexual rights must be recognized, promoted, respected, and defended by all societies

through all means. Sexual health is the result of an environment that recognizes, respects

and exercises these sexual rights.

1. The right to sexual freedom. Sexual freedom encompasses the possibility for

individuals to express their full sexual potential. However, this excludes all forms of

sexual coercion, exploitation and abuse at any time and situations in life.

2. The right to sexual autonomy, sexual integrity, and safety of the sexual body. This

right involves the ability to make autonomous decisions about one's sexual life

within a context of one's own personal and social ethics. It also encompasses

control and enjoyment of our own bodies free from torture, mutilation and violence

of any sort.

3. The right to sexual privacy. This involves the right for individual decisions and

behaviors about intimacy as long as they do not intrude on the sexual rights of

others.

4. The right to sexual equity. This refers to freedom from all forms of discrimination

regardless of sex, gender, sexual orientation, age, race, social class, religion, or

physical and emotional disability.

5. The right to sexual pleasure. Sexual pleasure, including autoeroticism, is a source

of physical, psychological, intellectual and spiritual well being.

6. The right to emotional sexual expression. Sexual expression is more than erotic

pleasure or sexual acts. Individuals have a right to express their sexuality through

communication, touch, emotional expression and love.

7. The right to sexually associate freely. This means the possibility to marry or not, to

divorce, and to establish other types of responsible sexual associations.

8. The right to make free and responsible reproductive choices. This encompasses the

right to decide whether or not to have children, the number and spacing of children,

and the right to full access to the means of fertility regulation.

9. The right to sexual information based upon scientific inquiry. This right implies that

sexual information should be generated through the process of unencumbered and

yet scientifically ethical inquiry, and disseminated in appropriate ways at all societal

levels.

10. The right to comprehensive sexuality education. This is a lifelong process from birth

throughout the life cycle and should involve all social institutions.

11. The right to sexual health care. Sexual health care should be available for

prevention and treatment of all sexual concerns, problems and disorders.

Sexual Rights are Fundamental and Universal Human Rights

Adopted in Hong Kong at the 14th World Congress of Sexology, August 26, 1999


No comments:

Post a Comment

Followers