Monday, 15 December 2008

SEX dan WANITA

oleh Dr Nuke Febriana (Konsultan Medis On Clinic Indonesia For Women)

Tidak seperti laki-laki, perempuan adalah kaum yang tertutup dalam masalah seks. Dari sisi antropologi, perempuan dicap sebagai subordinat laki-laki. Hasrat seksual perempuan ditekan karena dianggap tidak pantas. Sedang kaum laki-laki dinyatakan “gagah”, “jantan”, justru karena penunjukkan hasrat seksualnya di hadapan khalayak. Berdasarkan penelitian antropologis, diketahui pada masa purbakala, kaum laki-laki banyak memegang peranan penting dalam usaha bertahan hidup (survival). Washburn & Lancaster, 1968, menelurkan konsep “Man the Hunter”. Di sini, posisi laki-laki didudukkan sebagai kaum superior yang memiliki peranan besar untuk mencari nafkah dengan gambaran fisik yang perkasa dan serba bisa. Di sisi lain, perempuan didudukkan pada posisi “rumahan” yang peranannya lebih kecil. Perempuan tergambar sebagai sosok yang lebih submisif, lemah, dan irrasional. Pada akhirnya secara seksual, laki-laki diibaratkan sebagai penakluk, dengan perempuan yang hanya “nrimo”.

Di era modern, khususnya di kota metropolitan, telah banyak terdapat pergeseran nilai dan peranan sosial perempuan terhadap laki-laki. Banyak perempuan mulai menyadari arti penting seksualitasnya dan mulai secara berani “unjuk gigi”. Ungkapan ‘perempuan agresif’ mulai bertebaran di sepanjang obrolan ringan para laki-laki metropolis. Pada dasarnya kesadaran dan penerimaan perempuan terhadap seksualitas dirinya, bukan berarti perempuan menjadi ‘murahan’ atau ‘binal’, sebagaimana klaim yang sering ditujukan masyarakat. Tetapi, seksualitas adalah jati diri, fitrah, yang menjadi ungkapan kebutuhan dasar setiap individu, termasuk perempuan. Dengan memahami diri, maka perempuan akan lebih terbuka terhadap hasrat seksualnya.

Menjadi ‘seksual’ atau ‘sensual’ bukan berarti perempuan menjadi sosok ‘sampah’. Kultur dikotomi seperti ini harus segera ditepis. Bila laki-laki ‘seksual’ adalah ungkapan jantan dan keberhasilan, maka perempuan ‘seksual’ juga selayaknya mendapat porsi nilai sama. Dalam budaya jawa, seks bukan hal yang taboo. Seks adalah suatu hal yang sakral yang merupakan proses menuju lahirnya generasi baru berdasarkan kerjasama seimbang antara “lingga – yoni”. Lingga adalah simbolisasi dari phalus, penis laki-laki, sedang yoni serupa vagina perempuan. Dalam kosmologi jawa, kelahiran manusia atau tirtasinduretna terjadi saat pertemuan lingga-yoni, yang kemudian dikandung di gua garba.

Menyimpulkan hal ini, perempuan perlu sadar betul arti seks dalam kehidupannya, agar tidak dipandang sebagai objek pelengkap semata. Ungkapan Simone de Beaviour bahwa perempuan adalah ‘the second sex’ tidak boleh menyebabkan perempuan pasrah dengan marginalisasi yang dibentuk oleh masyarakat. Perempuan harus sadar hak-haknya termasuk hak-hak seksualnya, yang lebih lanjut membawanya pada kepahaman bahwa seks bukan untuk suami atau pasangan, tetapi seks juga diciptakan untuk kepentingannya, P E R E M P U A N.

No comments:

Post a Comment

Followers