Sunday, 14 December 2008

HEALTHY SEXUAL LIFE : Terapi Disfungsi Seksual, Agar Ranjang Tak Sepi

Zaman sekarang, semakin banyak orang yang melakukan aktivitas seksual atas dasar mencari kesenangan. Maka bak kiamat rasanya, manakala niat itu terhenti lantaran disfungsi seksual. Ranjang pun terancam berhenti berderit. Untung saja dunia kedokteran sudah menemukan terapi untuk mengenyahkan gangguan menyebalkan ini.

Sebelum tahun 1970-an, disfungsi seksual (DS) lebih dikenal sebagai impoten (sexual impotence atau impotence saja) untuk lelaki dan frigid bagi wanita. Biasanya istilah impoten digunakan pada pria yang tidak mampu melakukan hubungan seksual secara sempurna sebab tidak mampu memperoleh ereksi yang cukup baik pada saat diperlukan untuk melakukan sanggama. Tak dirinci apakah kegagalan itu akibat kehilangan libido, terjadinya gangguan fungsi ejakulasi, atau sebab lain.

Sedangkan kata frigid digunakan pada wanita dengan gangguan fungsi seksual pada umumnya bila wanita bersangkutan tak bergairah atau 'dingin-dingin' saja bila dihadapkan dengan persetubuhan (sanggama) tanpa menyebutkan secara tepat gangguan fungsi seksual yang bagaimana. Apakah hilangnya dorongan seksual (gangguan libido), tidak dapat memperoleh orgasmus (gangguan orgasmus), atau rasa sakit (dispareni) bila melakukan sanggama?

Baru pada akhir abad ke-20 muncul terminologi baru mengenai gangguan fungsi seksual yang lebih 'afdol'. Misalnya istilah disfungsi ereksi (DE) yang sekarang sudah akrab disebut-sebut masyarakat awam. Dengan mengenali tiap macam gangguan fungsi seksual, maka cara pengobatannya pun menjadi lebih terarah. Misalnya selain DE, pria bisa mengalami gangguan fungsi ejakulasi. Ada ejakulasi yang terlalu cepat (precox), ejakulasi terhambat (delayed ejaculation), tidak dapat ejakulasi (anejaculation), gangguan kenikmatan (anorgasm), sampai terjadinya rasa sakit sewaktu ejakulasi.

Sebagai contoh, seorang pria mengalami DE bila melakukan sanggama dengan pasangan bukan istrinya, tapi dengan istri sendiri dia aman-aman saja. Atau malah sebaliknya! Di sini faktor emosi berperan sangat penting, sehingga cara pengobatannya juga akan menjadi lain.

Ada beberapa persyaratan

Ada persyaratan untuk sampai menuduh seseorang menderita disfungsi seksual. Paling tidak yang bersangkutan mengalami derita tadi minimal tiga bulan berturut-turut. Untuk ini perlu juga diketahui macam disfungsi seksual yang dideritanya. Tulisan ini hanya membahas disfungsi seksual yang terjadi karena adanya dua pembedaan jender di dalam perilaku heteroseksual.

Pada umumnya, baik pada pria maupun wanita, DS bisa dibedakan menjadi dua bagian: primer dan sekunder. Pada DS primer tentu saja kejadian sudah bermula sejak awal. Sedangkan pada DS sekunder, disfungsi terjadi belakangan. Senada dengan itu, DS pun dapat bersifat menetap (absolut), tidak menetap (relatif), atau situasional - yang terjadi karena keadaan atau pasangannya (selektif).

Sedangkan penyebab disfungsi seksual ada tiga, yakni psikologik, organik, dan iatrogenik. Psikologik adalah disfungsi seksual yang timbul karena hambatan emosi yang disebabkan oleh pasangannya, misalnya phobi intercourse, vaginismus/ dyspareunia. Pada organik, disfungsi seksual terjadi karena kerusakan sinusoid corpus cavernosun (terutama disfungsi ereksi sebab susunan organ bilik-bilik darah di badan phallus atau penyakit-penyakit sistemik seperti diabetes, hipertensi, obesitas).

Sedangkan yang dimaksud iatrogenik adalah disfungsi ereksi yang terjadi karena efek sampingan obat-obatan seperti psikotropika yang berlebihan (menyebabkan naiknya kadar prolaktin darah yang akan menyebabkan penurunan kadar testosteron), obat-obat hipertensi tertentu; akibat operasi di perut bagian bawah (operasi prostat: bisa menyebabkan gangguan ejakulasi).

Ada catatan dalam persoalan disfungsi seksual ini. Yakni pada dasarnya, disfungsi seksual akan melibatkan kedua masalah psikologik dan organik dengan bobot yang berbeda. Nah, berdasarkan keparahan disfungsi seksual, maka keluhan penderita bisa ringan (mild), sedang (moderate), atau berat (severe).

Akibat masa lalu

Mari kita kupas disfungsi seksual pada pria dulu. Ada empat klasifikasi dalam disfungsi seksual pria. Pertama, terganggunya gairah atau dorongan seksual (disfungsi libidinis). Disfungsi ini bisa hipoaktif, gairah yang menurun sampai hilang sama sekali, bisa pula aversi seksual (penolakan gairah dorongan heteroseksual oleh penderita homoseksual).

Kedua, terganggunya kemampuan ereksi atau dikenal dengan disfungsi ereksi. Gangguan ini bisa menyerang secara parsial atau kadang-kadang saja. Biasanya terkait dengan kekerasan (rigidity) ereksi. Atau bisa juga menyerang secara selektif, tergantung pasangan, waktu, lingkungan, dan lain sebagainya.

Ketiga, terganggunya masalah ejakulasi (disfungsi ejakulasi). Ada bermacam-macam disfungsi ejakulasi ini. Yang banyak dikenal awam tentu ejakulasi dini yang sampai muncul akronim 'edi tansil' alias ejakulasi dini tanpa hasil. Ejakulasi dini ini sendiri bisa terjadi pada saat penis menyentuh bibir vagina (ante portas), sesaat setelah penis memasuki vagina (intro-missio directa), penis sudah di dalam vagina namun belum melakukan gerakan koital (intro-missio), atau ejakulasi yang tak terkontrol hanya karena gerakan koital minimal.

Terakhir adalah disfungsi organik. Di sini suami tidak bisa merasakan kepuasan dalam hal hubungan intim. Gangguannya bisa ringan, sedang, atau berat.

Sebagai penyebab, ada banyak faktor yang membuat pria terkena disfungsi seksual. Bisa karena faktor genetik atau keturunan seperti pada sindroma Klinefelter (penyakit genetik yang bisa digolongkan sebagai hypogonadism. Biasanya disertai berat badan yang berlebihan, perkembangan testis kecil, begitu juga phallus - susunan kromosomnya XXY); hormonal (endokrinologis) seperti pada hypogonadism; penyakit-penyakit tertentu semisal tekanan darah tinggi atau diabetes melitus; kelainan jaringan penis.

Faktor dari luar pun dapat menjadi penyebab disfungsi seksual pria. Misalnya gaya hidup tak sehat seperti minum alkohol, merokok, atau mengonsumsi obat-obat psikotropika. Begitu juga faktor fisik dan psikis dapat menurunkan dorongan seksual yang pada akhirnya memunculkan disfungsi seksual.

Jangan pula meremehkan masa lalu. Perkembangan seksual semasa anak-anak, pengetahuan tentang seksual yang tidak benar karena terbelit persoalan tabu, mitos, atau pun common sense yang salah bisa memicu disfungsi seksual. Bahwa kehilangan rasa percaya diri, post power syndrom, atau malahan gangguan fungsi seksual pasangannya pun acap kali membuat 'kelelakian' pria menjadi loyo.

Konseling seks sebagai pendamping

Bagaimana dengan wanita? Tak jauh berbeda dengan disfungsi seksual pada pria, disfungsi seksual pada wanita pun dapat dibagi dalam empat hal: gangguan dorongan seksual - baik hipoaktif atau aversi seksual; gangguan bangkitan seksual; gangguan orgasme; serta gangguan rasa sakit (dispareni), misalnya vaginismus.

Perlakuan dan peralatan untuk menetapkan diagnosis disfungsi seksual wanita seperti di atas masih sangat terbatas dan tidak selengkap pada disfungsi seksual pria. Di antara tes-tes klinik yang sampai kini diketahui adalah vaginal plethysmography (untuk mendeteksi kekuatan jepit vagina), ultrasonography dopler (untuk mendeteksi adanya gangguan pembuluh darah vagina dan klitoris), tes oksigen, dan tes persarafan untuk mengetahui kepekaan sensasi alat genital wanita.

Pada dasarnya, pengobatan disfungsi seksual pada wanita masih terbatas kepada pengobatan hormonal dan psikologik. Jika penyebabnya karena radang atau pun infeksi alat genital, maka pengobatan dilakukan dengan memberi obat antiradang dan antibiotika. Alat-alat vibrator dan sejenisnya masih sangat terbatas kegunaannya dan masih terus dalam penelitian. Begitu pula obat-obat oral erectogenic (sildenafil) untuk wanita belum memperoleh hasil dan masih terus diteliti.

Akan halnya pengobatan disfungsi seksual pada pria harus didahului dengan wawancara (anamnesis) yang teliti dan jelas. Wawancara ini dilakukan oleh dokter yang berwenang. Biasanya dilakukan secara bertahap kepada penderita dan bila diperlukan dapat diteruskan terhadap pasangannya dan orang-orang lain (orang tua, saudara, teman terdekat - bila diperlukan saja). Setelah itu dilakukan pemeriksaan fisik yang bisa dilakukan oleh dokter yang berwenang. Bila diperlukan dapat juga dilakukan pemeriksaan laboratorium darah.

Setelah dapat dilakukan penegakan diagnosis maka dokter yang berwenang dapat menjatuhkan pilihan cara pengobatan. Pertama, konseling dengan tindakan psychosexual treatment, atau bisa juga terapi seks. Kedua, menggunakan obat-obatan. Ada tiga macam yang bisa dicobakan: oral (Viagra, Vardenafil, Tadalafil, Zydena, dan lain sebagainya dengan tujuan memperbaiki mekanisme ereksi); topical (ointment, krim, patches - biasanya berisi hormon testosteron); serta injeksi, yakni obat suntik vasoaktif yang dimasukkan langsung ke batang penis (papaverine, phentolamine, prostaglandine, dan lain-lain).

Ketiga, pompa vakum jerat (VCD= Vacuum Constriction Devices). Keempat, bedah yang meliputi penile prosthesis untuk mengatasi ereksi dan reconstruction (micro-) surgery. Terakhir, terapi gen yang masih dalam tahap penelitian.

Walaupun pengobatan disfungsi seksual pria sudah banyak diperoleh kemajuan, namun konseling seks merupakan cara pengobatan pendamping yang masih sangat diperlukan seperti halnya pada disfungsi seksual wanita. Jadi, jangan gampang menyerah. Masih banyak jalan untuk menyembuhkan disfungsi seksual. Ranjang pun tak lagi sepi.

(Arif Adimoelja)


No comments:

Post a Comment

Followers